Kamis, 25 Agustus 2011

Ketika Langit Malam Berbicara



“Semua makhluk-Nya bertasbih menyebut nama-Nya”

Kadang saya berfikir, apa benar ya langit subuh itu mendendangkan syair pujiannya untuk Tuhannya? Apa benar langit yang bersemu merah itu bisa? Untuk apa?

Saya pun sering berfikir, kalau saat siang mereka nggak bersemu merah lagi karena sudah ditutupi sinar mentari, apa mereka masih mendendangkan pujian untuk Tuhannya? Apa langit yang berubah menjadi biru cerah itu tetap mengagungkan-Nya? Untuk apa?

Untuk apa mereka bertasbih, kalau malam tiba dan langit menjadi hitam kelam. Apa mereka masih mengagungkan Tuhannya? Padahal langit yang elok di subuh dan siang hari malah diganti dengan langit kelam yang menakutkan? Bukannya jadi tidak seindah langit subuh dan siang hari?

Tiba-tiba bintang menjawab,
”Ada kami di sini. Walau langit kelam, kami tetap bisa membuatnya indah dengan kami yang berkerlap-kerlip di seantero langit.”
Bulan pun ikut menimpali,
”Ada saatnya aku muncul. Dan dengan berbagai bentuk. Mulai sabit hingga purnama. Dan itu menjadikan langit kelam semakin indah. Kami bekerja sama untuk mengindahkan dunia yang sudah dibuat indah oleh Allah Azza wa Jalla.”
Dan langit pun berkomentar,
”Tidakkah kau fikir langit kelam membawa anugrah? Saat itulah, keluarga yang terpecah belah di pagi hari karena kesibukan, dapat berkumpul dan bercengkrama. Lalu, malam yang kau bilang kelam akan mebawa peruntungan bagi mereka yang bekerja di malam hari. Seperti tukang bakso, tukang sate, tukang soto... Ketika semua keluarga berkumpul, mereka akan kebagian rezeki saat keluarga-keluarga itu memutuskan makan di luar alih-alih di rumah. Merayakan kebersamaan mereka. Malam yang kelam adalah saat yang penuh berkah. Saat itulah semua orang dapat melepas kepenatan hidupnya. Dapat tidur dengan nyenyak. Karena memang, gelap membuat tidur semakin nyenyak. Lalu nikmat Tuhan manakah yang masih engkau sangsikan? Untuk itulah kami akan terus bertasbih. Subuh ke siang. Siang ke malam. Malam ke subuh. Allahu Akbar!”

Seluruh langit menggemakan asma-Nya. Saya tertunduk. Malu. Takut akan kebesaran-Nya. Ya, semuanya diciptakan pada porsinya masing-masing. Dan semuanya indah dan penuh berkah, tak ada yang meragukan. Saya, sebagai pohon tua yang rapuh. Yang suatu saat siap tumbang, akan selalu bertasbih mengagungkan namanya, tanpa sekali pun jenuh dan bertanya lagi. Untuk siapa? Hanya untuk-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bagaimana dengan kamu?

[DAP]

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More